Generasi Muda dan Kecemasan atas Bangkitnya Otoriterianisme di Indonesia

Sekolah Mahasiswa Progresif
4 min readAug 5, 2024

--

Oleh: Ihsan Kamil (Sekolah Mahasiswa Progresif)

Aksi Menuntut Pendidikan Gratis Di Depan Kemendkkbud RI pada perayaan hari Pelajar Internasional 2024

Indeks Demokrasi Indonesia masih tergolong demokrasi cacat (flawed democracy) berdasarkan riset yang dilakukan Economist Intelligence Unit (EIU). Indonesia meraih skor 6,71 pada Indeks Demokrasi 2022. Angka tersebut sama dengan skor yang diperoleh Indonesia pada Indeks Demokrasi 2021. Meski nilai indeks stagnan, rangking Indonesia di tingkat global menurun dari 52 menjadi 54.

Dalam 12 tahun terakhir, EIU mencatat indeks demokrasi Indonesia mengalami tren naik turun. Sementara berdasarkan data dari Freedom House, indeks demokrasi Indonesia pada 2023 memiliki skor 58/100 dan masih tergolong partly free.

Anak-anak muda menjadi kelompok populasi masyarakat yang paling cemas atas situasi politik dan kemerosotan demokrasi di Tanah Air. Merujuk hasil survei Indikator Politik Indonesia, 40 persen generasi muda melihat Indonesia menjadi kurang demokratis dalam beberapa tahun terakhir.

Studi tersebut mematahkan anggapan generasi muda abai dan apolitis terhadap situasi politik dan demokrasi. Padahal evaluasi anak-anak muda terhadap situasi politik dan demokrasi saat ini jauh lebih kritis dan substantif. Mereka berpartisipasi dalam isu gaya hidup, kepastian kerja, kualitas hidup atau lingkungan di masa depan, serta penghargaan terhadap nilai-nilai kebebasan dan hak asasi manusia.

Misalnya, komersialisasi dalam perguruan tinggi di Indonesia berdampak terhadap kenaikan biaya kuliah, perombakan kurikulum akademik dan model pembelajaran, serta depolitisasi organisasi-gerakan mahasiswa. Akibatnya, anak-anak muda kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi sebagai modal memperbaiki kualitas hidup.

Generasi muda di pedesaan tidak memiliki kontrol atas tanah dan sumber[1]sumber penghidupan, mayoritas pengangguran, dan hanya sedikit yang bekerja di lahan terbatas milik orang tuanya. Mayoritas dari mereka bukan terserap ke lembaga pendidikan tinggi, tapi dipaksa bekerja di atas lahan milik tuan tanah dengan alat kerja yang sangat tradisional.

Sementara di perkotaan, komersialisasi pendidikan memaksa generasi muda memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Mereka menjadi sasaran bagi industri milik borjuasi besar sebagai tenaga kerja murah lewat hubungan kerja yang rentan. Mereka bekerja lepas (freelance) atau serabutan, atau menjadi buruh di sektor manufaktur maupun jasa dengan upah yang sangat murah dan kondisi kerja yang sangat buruk. Keadaan tersebut membuat generasi muda di Indonesia sulit menemukan pijakan untuk kehidupan yang ilmiah, demokratis, maju dan berkualitas.

Anak-anak Muda Tulang Punggung Demokrasi

Melekat dalam ingatan kita bagaimana generasi muda dengan semangat dan energi yang segar mampu memberikan efek kejut perlawanan yang cukup signifikan. Anak-anak muda menjadi garda terdepan dalam protes besar yang bertajuk #ReformasiDikorupsi, #MosiTidakPercaya, dan #PembangkanganSipilBerskalaBesar yang terjadi bergelombang sepanjang 2019 hingga 2022.

Rentetan protes itu dilatarbelakangi oleh kekecewaan politik, kesenjangan ekonomi, dan kecemasan generasi muda terhadap gaya hidup dan masa depan mereka. Mereka turut mengadang kemunduran demokrasi, kebangkitan oligarki, dan korupsi yang merajalela dalam rezim politik yang bercokol saat ini.

Bukan sekadar protes, muncul pula kesadaran baru generasi muda untuk menjadi tulang punggung pembentukan koalisi atau aliansi dengan gerakan kelas pekerja, hak asasi manusia, lingkungan, dan kelompok rentan lainnya.

Kebangkitan kesadaran politik baru dari generasi muda ini direspons oleh pemerintah dan aparat secara gagap dan cenderung dengan perasaan terancam. Sering kali mereka menggunakan instrumen kekuasaan misalnya kriminalisasi lewat pasal karet UU ITE, pembentukan produk legislasi yang koersif seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, hingga tindakan represif.

Alih-alih menghentikan upaya perlawanan, respons tersebut justru melahirkan gerakan anak-anak muda yang lebih variatif dan adaptif. Situasi itu juga justru memvalidasi kecemasan generasi muda terhadap situasi politik dan kemunduran demokrasi yang terjadi di Indonesia.

Politik Kecemasan

Kecemasan generasi muda semakin bertambah ketika proses transisi kekuasaan di Indonesia lewat Pemilu 2024 dibajak oleh kepentingan oligarki. Lewat cara-cara yang culas, curang, dan koruptif, mereka memastikan transisi kekuasaan jatuh di tangan orang yang dianggap mampu mengamankan kepentingan oligarki untuk dapat mengakumulasikan modal.

Hasilnya, Prabowo Subianto — mantan Jendral TNI yang catatan sejarahnya penuh goresan darah pelanggaran HAM — dan pasangannya Gibran Rakabuming — penerus trah dinasti politik Joko Widodo (Jokowi) — melenggang mulus menjadi pemenang Pilpres 2024. Ian Wilson, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, berpendapat bahwa kemenangan Prabowo-Gibran semakin mengokohkan pintu gerbang kebangkitan rezim otoritarianisme.

Pada era 70-an, banyak kalangan feminis di berbagai negara mempopulerkan istilah Personal Is Political. Konsep feminisme yang menjelaskan pengalaman pribadi perempuan yang dibentuk oleh kondisi politik karena adanya penindasan dan ketidaksetaraan. Perasaan dan pengalaman pribadi merupakan situasi yang dikondisikan oleh struktur ekonomi, sosial, dan politik yang lebih luas.

Konsep ini masih relevan untuk memahami tentang kecemasan yang lebih populer dalam dunia medis sebagai keadaan emosional yang lebih personal. Padahal, kecemasan yang menghantui generasi muda Indonesia disebabkan oleh situasi struktur sosial ekonomi politik yang menindas.

Struktur tersebut memfasilitasi segelintir kelompok dominan untuk memanipulasi hukum dan regulasi agar dapat menjinakkan kritik, merusak lingkungan, merampas sumber daya alam, dan menciptakan kondisi masa depan generasi muda dalam situasi yang suram.

Alih-alih mengobati kecemasan dengan kesendirian, anak-anak muda Indonesia berupaya perasaan kecemasan itu pada respons-respons yang lebih politis. Mereka mengintegrasikan diri ke dalam organisasi, atau aktivitas yang dapat menjadi benteng kebebasan dan berupaya merebut kehidupan yang lebih baik, adil, demokratis dan setara.

Penulis merupakan salah satu peserta lokakarya akademik dan diskusi publik Gelombang Baru Aktivisme Pemuda dan Pelajar di Indonesia yang diadakan oleh EngageMedia. Selengkapnya di: https://engagemedia.org/

--

--

Sekolah Mahasiswa Progresif

Kanal Edukasi, Propaganda dan Informasi Juang Sekolah Mahasiswa Progresif