BERSIAP UNTUK MASA YANG LEBIH SURAM; BERSIAP UNTUK BERTARUNG DI SEMUA SISI

Catatan Situasi dan Rekomendasi Dalam Pendidikan Politik dan Pleno Nasional 2024 Sekolah Mahasiswa Progresif

Sekolah Mahasiswa Progresif
11 min readFeb 14, 2024

Kerusakan Kapitalisme sebagai sebuah epos produksi skala global terekspos nyata dalam wujud krisis pangan, energi, keuangan, perang, serta perubahan iklim yang semakin parah dan belum ada preseden dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Dua tahun terakhir, jumlah orang yang menghadapi kelaparan akut meningkat dari 135 juta orang di 53 negara sebelum pandemi, menjadi 345 juta orang di 79 negara pada tahun 2023. Jutaan orang di dunia kehilangan pekerjaan akibat kelesuan industry berkepanjangan dan trend otomatisasi kerja di berbagai sektor. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kebutuhan dasar melambung tinggi, kemunculan energi terbarukan dipercepat dengan cara memangkas subsidi publik besar-besaran. Miliaran penduduk bumi yang terdampak sangat parah dari krisis itu adalah bagian dari kelas buruh, kaum tani, masyarakat adat, perempuan, anak-anak muda, dan rakyat miskin perkotaan. Sedangkan 10 orang terkaya yang memonopoli 80% kekayaan (teknologi) di dunia ini, mengalami peningkatan pendapatan yang signifikan.

Negara-negara pusat Imperialis tidak akan membiarkan beban krisis ditanggung oleh mereka tanggung sendirian. Komite-komite borjuasi segera dibentuk demi mengonsolidasikan rantai transfer modal (investasi) berdiri dengan ajeg, namun suku bunga kredit dikatrol tinggi-tinggi untuk menahan laju inflasi. Alhasil, negara-negara berkembang yang jalan pembangunan nasionalnya bergantung pada investasi dan politik hutang mengalami lonjakan kenaikan beban utang luar negeri yang signifikan.

Paska investasi skala besar diundang masuk lewat kemudahan yang disponsori oleh UU Cipta Kerja, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, total realisasi investasi mencapai Rp1.418,9 triliun sepanjang 2023. Jumlah ini meningkat 17,5% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp1.207,2 triliun. Pada akhir 2023, Indonesia sendiri mengalami kenaikan beban utang luar negeri sebesar $195,2 miliar, atau naik 3,9% dibanding tahun lalu. Kementrian Perhubungan dan Kementrian PUPR menjadi dua lembaga dengan catatan beban utang yang paling tinggi. Prioritas investasi untuk percepatan penyelesaian Proyek Strategis Nasional, mega proyek Kereta Cepat, Pembangunan Ibu Kota Negara, food estate, serta hasrat hilirisasi komoditas ekstraktif justru mengundang malapetaka berkelanjutan bagi rakyat.

UU Cipta Kerja; Cipta Malapetaka

Kaum Buruh Dijerat Politik Upah Murah

Rezim Pemerintahan Jokowi selama memimpin tiga kali mengubah aturan pengupahan, yakni; lewat PP 78 tahun 2015, Lewat aturan turunan UU Cipta Kerja; PP 36 Tahun 2021, dan terakhir PP 51 Tahun 2023. Ketiganya, mengatur formula perhitungan kenaikan upah minimum menjadi semakin rumit dan merugikan kaum buruh Indonesia. Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai Indonesia adalah negara dengan skema pengupahan paling rumit di dunia. Belum lagi angka kenaikan upah yang formulanya rumit tersebut, sama sekali tidak mencerminkan realitas daya beli masyarakat ditengah inflasi harga-harga kebutuhan hidup secara holistik.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Agustus 2023, jumlah rata-rata pendapatan buruh di Indonesia hanya mencapai Rp. 3.178.000/bulan. Dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4 orang maka nilai kapita perharinya hanya mencapai Rp. 22.410, atau sekitar $1,6 per hari, jauh dibawah standar Garis Kemiskinan yakni $3,2 per hari. Hal ini terjadi bersamaan dengan meluasnya informalisasi kerja melalui rezim kerja fleksibel, sehingga menciptakan kemerosotan upah bagi para pekerja informal dan pekerja di sektor jasa pendidikan.

Riset yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) mengungkap bahwa aturan perhitungan upah di Indonesia belum mengakomodir kepentingan 87% pekerja media dan industri kreatif yang sangat mengkhawatirkan kondisi upah yang tidak layak. Riset juga dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus (SPK) pada Agustus 2023 mencatat sebanyak 42,9% dosen memiliki pendapatan di bawah Rp.3 juta perbulan. Selain itu 58% tenaga kependidikan merasa bahwa pendapatannya masih di bawah ongkos kebutuhan hidup yang layak.

Upah yang jauh dari kata layak memaksa kaum buruh mencari cara untuk menambal sulam kebutuhan hidup individu maupun keluarganya, salah satunya dengan bergantung pada pinjaman online. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan kenaikan yang signifikan penggunaan layanan pinjaman online (Pinjol) pada pengguna dengan usia tenaga kerja produktif (19-34 tahun), dengan total kenaikan outsatanding pinjaman sebesar Rp.42 trilyun menjadi Rp.52 trilyun pada Agustus 2023.

Fleksibilitas Kerja; PHK Massal dan Pasar Murah Tenaga Kerja

Problem fleksibilitas kerja (Mudah Kerja, Mudah PHK) yang sudah sejak lama mengundang penderitaan kaum buruh, kini diperparah dengan beberapa ketentuan ketenagakerjaan yang diubah paska di-sahkannya UU Cipta Kerja. Pasalnya, UU Cipta Kerja memuat aturan yang memudahkan pengusaha untuk memutus hubungan kerja dengan buruh, baik Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa perundingan maupun berubahnya ketentuan nilai pesangon yang ditentukan oleh UU Cipta Kerja. Alhasil, berdasarkan data Kementrian Ketenagakerjaan sendiri; sebanyak 273.000 pekerja di-PHK sepanjang tahun 2023. Jika ditambahkan dengan kasus yang terjadi di tahun 2020-22, ada sekitar 1,2 juta pekerja di PHK sepihak paska diberlakukannya UU Cipta Kerja.

Kemudahan PHK yang diatur dalam UU Cipta Kerja dimanfaatkan oleh perusahaan untuk merekrut tenaga kerja baru dengan beragam status yang lebih murah upahnya dan yang paling minim jaminan perlindungan sosialnya. Sebab UU Cipta Kerja juga memperluas jenis pekerjaan yang dapat mempekerjakan tenaga kerja outshorcing. Rentang waktu diperbolehkannya pengusaha untuk menggunakan tenaga kerja kontrak juga diperpanjang hingga 5 tahun lamanya. Selain itu, UU Cipta Kerja juga melegitimasi maraknya perusahaan-perusahaan untuk merekrut pekerja dengan status magang dan buruh harian lepas demi mendapatkan pekerja dengan upah yang murah.

Pemicu Maraknya Konflik Agraria dan Krisis Pangan

Perampasan tanah juga mendapat angin segar sebab dilindungi secara hukum demi kepentingan investasi oleh UU Cipta Kerja. Kondisi itu memperparah maraknya konflik agraria antara rakyat dengan pengusaha, atau rakyat dengan Pemerintah. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dalam sembilan tahun pemerintahan Jokowi (2015-2023), ada 2.939 letusan konflik agraria seluas 6,3 juta hektare yang berdampak terhadap 1,75 juta rumah tangga. Banyak warga juga menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan aparat hukum dan bersenjata. Sedikitnya 2.442 petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan dikriminalisasi; 905 orang mengalami kekerasan; 84 orang tertembak; dan 72 orang tewas karena mempertahankan tanahnya.

UU Cipta Kerja juga justru berpotensi memperlebar jurang ketimpangan penguasaan tanah, lewat kebijakan kemudahan pengalokasian tanah bagi pengusaha melalui Bank Tanah. Lembaga baru tersebut dibentuk oleh Pemerintah untuk mengakomodir proyek-proyek besar rakus tanah seperti Proyek Strategis Nasional dan Food Estate. Tanah-tanah pertanian pangan menjadi sasaran utama proyek pemerintah dan pengusaha. sedikitnya 1 juta hektare sawah hilang (Mapbiomas-Auriga, 2023). Korporatisasi pertanian skala besar seperti food estate bukanlah jawaban, karena justru menggeser peran petani, nelayan, petambak, dan peternak sebagai produsen pangan yang utama.

UU Cipta Kerja juga membuktikan Pemerintah Indonesia gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Terbukti UU Cipta Kerja justru menghilangkan kontrol terhadap ambisi impor pangan para pengusaha. Badan Pusat Statistik mencatat, impor beras pada 2023 mencapai 7,53 juta ton. Impor pangan selama ini pun tak mampu menjangkau daerah yang memiliki risiko kelaparan tinggi. Buktinya selama 2015-2022, sedikitnya 93 orang di Papua meninggal dunia dan ribuan lainnya mengalami gangguan kesehatan karena mengalami kelaparan ekstrem (Kompas & BBC, 2015-2022).

Konsentrasi dan Ketimpangan Kekayaan Semakin Tinggi

Pemiskinan kaum buruh dan penghilangan paksa ruang hidup masyarakat di pedesaan yang dilegitimasi oleh UU Cipta Kerja membuat wajah ketimpangan ekonomi Indonesia semakin dipertegas. Pada Maret 2023, persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 18,04 persen. Menurut kriteria Bank Dunia, angka ini termasuk dalam kategori ketimpangan rendah. Namun, jika dikaji lebih dalam, persentase tersebut menurun sebanyak 0,20 persen poin dari kondisi September 2022 yang 18,24 persen.

Sementara itu, persentase pengeluaran kelompok penduduk 20 persen teratas meningkat sebesar 0,12 persen poin dari 45,98 persen pada September 2022 menjadi 46,71 persen pada Maret 2023. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pengeluaran penduduk Indonesia hampir 50 persen berada di kelompok penduduk 20 persen teratas.

Mengutip Forbes, kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia jika digabungkan mencapai $ 252 miliar atau setara Rp. 39 kuadriliun. Rekor ini mencatatkan bahwa separuh taipan mengalami kenaikan kekayaan atau menjadi lebih kaya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kekayaan gabungan Hartono bersaudara tahun ini tercatat naik US$300 juta, sehingga totalnya menjadi US$48 miliar atau sekitar Rp744 triliun. Di bawahnya ada Prajogo Pangestu, yang kekayaannya naik lebih dari delapan kali lipat sepanjang tahun ini menjadi US$43,7 miliar.

Kenaikan kekayaan yang dialami oleh pejabat Pemerintahan Republik Indonesia. Mengutip LHKPN, Jokowi tak mau ketinggalan trend kenaikan kekayaan sebesar Rp. 10 Miliar menjadi Rp.82 Miliar. Menparekraf Sandiaga Uno menjadi Mentri paling terkaya dengan jumlah peningkatan kekayaan yang fantastis yakni sebesar Rp.10,9 trilyun. Selain itu, Tahir dan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berada di posisi kedua dan ketiga, dengan nilai kekayaan masing-masing mencapai Rp.9,2 trilyun dan Rp.4,2 trilyun.

Tidak ada upaya serius Pemerintah Indonesia untuk melihat kondisi ketimpangan yang semakin parah sebagai problem yang penting dan harus diselesaikan. Solusi-solusi yang dilahirkan justru kebijakan yang bersifat sementara seperti bagi-bagi Bansos (Bantuan Sosial), itupun dengan embel-embel kepentingan untuk memenangkan kontestasi pemilu elektoral.

Pendidikan Mahal dan Ketidakpastiaan Kerja

Meski problem kaum muda seperti pengangguran dan pendidikan menjadi komoditas politik di Pemilu 2024, hampir tidak ada satupun Pasangan Capres dan Cawapres atau partai politik peserta pemilu menjadikan dua isu tersebut sebagai prioritas.. Padahal Pemilu kali ini didominasi oleh anak muda, yakni 55% generasi Milenial dan generasi Z (Gen Z), atau sekitar 113,6 juta orang.

Masalah komersialisasi pendidikan, kurikulum yang tidak ilmiah, hingga angka putus sekolah yang tinggi, tidak mampu ditangani. Pemuda mahasiswa terus kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Banyak pemuda dan anak-anak berpendidikan sangat rendah karena tidak memiliki akses khususnya terhadap pendidikan menengah dan tinggi. Liberalisasi dan Komersialisasi pendidikan, memaksa biaya pendidikan terkatrol sangat tinggi tiap tahunnya melampaui pendapatan masyarakat Indonesia yang justru terus terjun menurun. Solusi Pemerintahan Jokowi, justru adalah pinjaman pendidikan (student loan) yang gagal di negara asalnya dan berpotensi menjerumuskan kaum muda dalam lilitan hutang berkepanjangan.

Kondisi itu membuat realitas rata-rata usia pendidikan Indonesia hanya 9 tahun, komersialisasi dan timpangnya infrastruktur pendidikan di kota dan pedesaan menjadi alasan utama. Pemuda di pedesaan yang tidak memiliki kontrol atas tanah dan sumber-sumber penghidupan, mayoritas pengangguran, hanya sedikit yang bekerja di lahan terbatas milik orang tuanya. Sedangkan mayoritas terserap bukan ke dalam lembaga pendidikan, namun bekerja di lahan milik tuan tanah dan dipaksa bekerja dengan alat kerja yang sangat tradisional. Sehingga tidak ada kemajuan berarti dalam produksi, pengetahuan dan keterampilan.

Sementara di perkotaan, pemuda dengan tingkat pendidikan yang rendah menjadi sasaran bagi industri milik borjuasi besar untuk mendapatkan tenaga kerja murah lewat skema pemagangan dan program kampus merdeka. Badan Pusat Statistik mencatat, pengangguran terbuka dari lulusan Sekolah Dasar sebesar 3,6% sedangkan pengangguran jenjang SMA/SMK mencapai 23,3%. Akibat dari industri di perkotaan yang hanya berbentuk manufaktur, olahan setengah jadi, rakitan dengan menggunakan mesin kuno dan teknologi rendah, serta kondisi kerja buruk dan upah murah, maka tidak akan pernah ada kemajuan bagi masa depan pemuda mahasiswa.

Dengan tidak diperhatikannya masalah pendidikan dan isu lainnya di kalangan generasi muda secara fundamental, pemuda mahasiswa akan tetap menjadi objek, barang dagang janji politisi ditiap momen kontestasi. Dipaksa untuk menjadi pekerja serabutan/freelance, buruh manufaktur maupun sektor jasa dengan upah yang sangat murah. Dengan kondisi tersebut, pemuda, mahasiswa, pelajar dan kalangan intelektual lainnya tidak akan pernah menemukan pijakan untuk kehidupan yang ilmiah, demokratis, maju dan profesional.

Demokrasi dan Dagelan Pemilu Borjuasi

Orientasi kebijakan pembangunan nasional yang dijalankan selama kepemimpinan rezim Jokowi yang ketergantungan sangat akut pada investasi dan politik hutang menegaskan keberpihakan yang sangat jelas pada pemilik modal. Rezim Jokowi telah berhasil menguatkan cengkraman kepentingan borjuasi dihampir semua sektor, namun disatu sisi yang lainnya; rakyat semakin dilemahkan oleh kebijakan yang lahir dan ancaman represi dan kriminalisasi.

Pengesahan UU Cipta Kerja demi investasi dipaksakan melalui akrobatik politik dan hukum yang tidak ada preseden sebelumnya. Protes terhadap kebijakan Pemerintah yang merugikan rakyat seperti kenaikan harga BBM, alih-alih didengarkan justru direspon dengan tindakan kooptasi luar biasa dengan diiringi represi aparat. Upaya rakyat mempertahankan ruang hidup dari rakusnya Proyek-Proyek Strategis Nasional justru diancam kriminalisasi. Belum lagi perangkat kebijakan yang banyak dibuat untuk menjerat aktivitas demokratis rakyat; UU KUHP ‘New Colonial’ dan revisi UU ITE.

Situasi ini diafirmasi melalui berbagai hasil publikasi laporan terkait indeks demokrasi di berbagai negara, misalnya data Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyatakan kinerja demokrasi Indonesia bergerak stagnan. Indonesia menempati angka 6,71 poin dan masih belum bergerak dari kategori demokrasi cacat (flawed demokrasi). Begitupun jika merujuk data dari Freedom House yang kembali menunjukan penurunan angka di tahun 2023 dengan 58/100.

Hiruk pikuk perayaan pesta demokrasi seakan membuat luput dosa-dosa penyempitan ruang demokratis rakyat yang dilakukan oleh rezim Pemerintahan Jokowi. Tiga pasangan Capres dan Cawapres serta partai politik yang tersedia dalam kontestasi Pemilu 2024 dan partai-partai pengusungnya adalah aktor-aktor yang justru terlibat dan setidaknya-tidaknya diuntungkan oleh penyempitan ruang demokratis rakyat. Bukan hanya Prabowo-Gibran pasangan yang sudah jelas siapa pendukungnya; sorot mata juga mesti diarahkan pada Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies-Imin yang juga sempat menikmati kue-kue kekuasaan Rezim Jokowi yang anti terhadap kepentingan rakyat.

Begitupun dengan partai yang tersedia dalam Pemilu Legislatif; hampir semua partai memiliki dosa mengesahkan UU Cipta Kerja dan kebijakan lainnya yang merugikan rakyat. Meski ada partai-partai yang menjadi oposisi selama Pemerintahan Jokowi; namun sikap dan keseriusan mereka patut pula dipertanyakan. Sebab, pada proses lahirnya kebijakan lain yang merugikan rakyat; mereka justru turut terlibat mensukseskannya.

Kondisi diatas mengekspose realitas Pemilu yang hanya memungkinkan keterlibatan partai dan presiden yang siap mengakomodir kepentingan investasi dan pemilik modal; misalnya, syarat kepesertaan pemilu yang rumit, Presidential dan Parlementary Treshold yang tidak adil, ongkos pembiayaan politik yang mahal, sehingga tidak memmungkinkan rakyat tertindas memiliki alat politiknya sendiri.

Maka selama itu pula, pemilu hanya akan menjadi momentum bagi pemilik modal untuk memastikan terkonsolidasinya transisi kekuasaan pada elit dan partai politik dengan cara-cara yang culas, curang dan koruptif. Sehingga, pemilu yang ada hanya akan menjadi transisi kekuasaan pada bentuk rupa; namun sejatinya memiliki kepentingan yang sama, yaitu memuluskan penghisapan terhadap rakyat secara ‘sistematis’ dan ‘legal’.

Bangkit dan Bersatu Lagi Untuk Menang

Kondisi diatas menggambarkan bahwa demi memuluskan kepentingannya; pemilik modal akan lebih ‘menggalakan’ lagi menggunakan segala macam cara untuk memastikan ‘penghisapan’ terhadap rakyat tertindas. Bentrokan antara kepentingan pemilik modal untuk memperkaya dirinya dengan kepentingan rakyat tertindas untuk bertahan hidup-kemungkinan akan terjadi lebih keras lagi hampir di semua sisi. Di pabrik, di kampung-kampung dan di desa-desa, di ruang-ruang belajar dalam universitas dan sekolah-sekolah, di media massa, hingga di pertarungan pembuatan kebijakan dan perebutan kekuasaan.

Buruh yang diupah murah, penduduk desa yang dirampas tanah dan hutannya, rakyat miskin kota yang digusur tempat tinggalnya, anak muda yang kehilangan harapan hidupnya akibat pendidikan mahal dan ketidakpastian kerja, serta ibu/bapak yang mengharapkan masa tua yang bahagia; tidak dapat diselamatkan oleh kebolehan individual bak pahlawan yang turun dari langit untuk ‘mencerahkan rakyat’ dan menggering pada kehidupan yang lebih baik. Adalah gagasan yang ngawur bahwa seorang individu dapat menjadi juru selamat bagi rakyat tertindas.

Rakyat tertindas hanya akan bisa menang dengan membangun gerakan yang mulai mempertanyakan mengapa mereka tak punya apa-apa; bukan seolah-olah harus dimenangkan dengan janji memberikan apa yang tidak mereka miliki. Dari situ kita akan memulai bertahan, merebut dan berkuasa untuk membalikan keadaan.

Rakyat tertindas meski bangkit!! Mengorganisir diri ke dalam organisasi-organisasi massa yang progresif, demokratis dan militan; sebagai alat pertahanan dari situasi yang berpotensi semakin memburuk. Keterlibatan rakyat ke dalam organisasi-organisasi progresif, demokratis dan militan juga akan menjadi modal utama bagi gerakan rakyat untuk segera membangun kekuatan politik persatuan sebagai alat bagi rakyat tertindas untuk bangkit, bersatu, membalikan keadaan dan memenangkan pertarungan di semua lini.

Tidak pada ‘ilusi’ 01-02-03 atau 04 yang dianggap pilihan alternatif dibanding sosok yang keburukannya paling banyak. Tangan kita masih harus terkepal dan meninju ke atas! Organisir rakyat seluas-luasnya, persiapkan kekuatan politik persatuan, rebut kedaulatan dan demokrasi rakyat yang sejati.

Hajar Oligarki di Semua Sisi!!

12 Tuntutan Rakyat :

  • Cabut UU Cipta Kerja dan PP Turunannya yang menyengsarakan rakyat
  • Cabut Permenaker No.5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Upah di sektor Industri Padat Karya
  • Tolak Sistem Kerja Fleksibel; magang, kontrak, dan outshorcing
  • Lawan PHK Massal
  • Hentikan Liberalisasi Pertanahan Lewat Bank Tanah dan Mafia Tanah
  • Hentikan Proyek Strategis Nasional (PSN), IKN, dan Food Estate Perampas Tanah Rakyat, Hutan Adat dan Merusak Ruang Hidup Rakyat
  • Stop Kriminalisasi dan Represifitas Terhadap Gerakan Rakyat
  • Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan, Hukum dan Adili Pelanggar HAM
  • Hentikan Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan.
  • Cabut aturan dan Perundang-Undangan Yang Anti Rakyat (KUHP, UU Minerba, UU IKN, UU Pertanian, RUU Sisdiknas dan Revisi UU ITE)
  • Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Nasionalisasi Industri untuk Rakyat
  • Lawan Pemilu Borjuasi! Bangun Kekuatan Politik Persatuan Rakyat.

Hormat Kami

Pengurus Pusat Sekolah Mahasiswa Progresif

Dokumentasi Pendidikan Politik dan Pleno Nasional 2024
Dokumentasi Pendidikan Politik dan Pleno Nasional 2024

--

--

Sekolah Mahasiswa Progresif
Sekolah Mahasiswa Progresif

Written by Sekolah Mahasiswa Progresif

Kanal Edukasi, Propaganda dan Informasi Juang Sekolah Mahasiswa Progresif

No responses yet