Alarm Krisis Di Negeri Agraris

Sekolah Mahasiswa Progresif
6 min readSep 22, 2022

--

Materi Edukasi dan Ideologisasi Sekolah Mahasiswa Progresif Menuju Hari Tani Nasional 2022

“ Revolusi Indonesia tanpa Land Reform adalah sama saja dengan gedung
tanpa fondasi, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong
besar tanpa isi…

Melaksanakan Land Reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari revolusi Indonesia…

Tanah tidak untuk mereka yang dengan
duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk-gendut karena mengisap keringatnya
orang-orang yang disuruh menggarap tanah itu!”

- Soekarno, dalam “Jalannya Revolusi Kita”.

Enam Dekade Konstitusi Yang Dikangkangi

Hak akan tanah merupakan hak yang diatur dalam konstitusi hukum Indonesia, sebagaimana di maksud dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagaimana tertuang berikut:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Pada beberapa tahun setelahnya, Undang Undang Pokok Agraria lahir, gagasan yang lahir dari semangat reforma agraria, semangat pendistribusian lahan, serta pembagian kepemilikan secara merata. Reforma agraria, yang gagasannya lahir dari perjuangan agraria di seantero nusantara, juga dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik agraria.

Secara sederhana, UUPA 1960 yang pada intinya memandatkan Negara untuk melaksanakan land reform. Land reform yang, dengan dinamika politik Indonesia, saat ini dikenal dengan Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria, berisi tentang prioritas penguasaan tanah oleh petani (tanah untuk petani penggarap) untuk kesejahteraan petani. Karena penguasaan tanah merupakan elemen kemerdekaannya kaum tani, dimana mereka bisa berproduksi dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan dapat memberi makan warga di sekitarnya dengan surplus pertanian yang mereka miliki.

Gagasan tentang reforma agrarian tersebut, hancur dari harapan dan jauh akan cita-cita selama berlangsungnya rezim Orde Baru. Pasalnya, presiden Soeharto melakukan liberalisasi secara besar-besaran di bidang agrarian. Mengkhianati amanat konstitusi di bidang agrarian yakni pasal 33 UUD 1945 dan UUPA1960.

Reforma agraria musti difungsikan untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria struktural yang kronis dan meluas, yang umumnya disebabkan oleh peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan pejabat public. Pengertian agraria sendiri mengacu pada Undang-Undang No. 5 tahun 1960 yang mendefenisikan agraria sebagai bumi, air, ruang angka dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Pada medio setelah era reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan sebuah ketetapan di bidang agrarian dan sumber daya alam melalui TAP MPR No.IX/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam. Ketetapan ini lahir dari desakan kaum tani dan gerakan rakyat atas krisis agrarian dan lingkungan hidup yang semakin parah. Penggusuran dan ketimpangan telah menimbulkan berbagai konflik agrarian di berbagai wilayah di Indonesia. TAP MPR ini merupakan langkah perbaikan untuk menetapkan kembali arah dan dasar pembangunan nasional, mengacu pada konstitusi agraria Indonesia untuk menjawab berbagai persoalan ketimpangan serta ketidakadilan atas penguasaan sumber-sumber agraria yang melahirkan kemiskinan dan kerusakan lingkungan.

Seiring berjalannya waktu, Cita-cita konstitusi menyoal reforma agrarian semakin dikangkangi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibuslaw) pemerintah menerbitkan banyak aturan pelaksanaan yang terkait dengan tanah dan sumber-sumber agraria (SSA). Dari beberapa PP pelaksana Omnibuslaw, dapat disimpulkan bahwa investor dan pengusaha baik dalam negeri maupun luar negeri, mendapatkan fasilitas negara untuk kegiatan bisnisnya.

Tidak mengherankan penolakan petani, masyarakat adat, nelayan dan masyarakat pedesaan atas Omnibuslaw dan aturan pelaksananya selama ini diacuhkan pemerintah.

Perampasan Skala Nasional

Proyek Strategis Nasional dalam Omnibuslaw, agenda bisnis pengusaha dan kelompok korporasi menjadi semakin mudah dan cepat, karena pemerintah memberikan dukungan dengan mengerahkan paket instrumen negara di dalamnya (aparat, birokrasi bahkan anggaran).

Konflik agraria tahun 2022 sangat dipengaruhi aliran investasi yang tinggi, baik asing maupun dalam negeri. Berdasarkan Permenko Nomor 7 Tahun 2021, terdapat 208 Proyek dan 10 Program PSN dengan nilai investasi sekitar Rp 5.698,5 triliun (Deputi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian, 2021).

Perampasan tanah akibat PSN ini juga telah memicu konflik agraria di wilayah setempat yang menjadi target pengadaan tanahnya. Proyek strategis nasional tersebut memperburuk kehidupan masyarakat desa yang mata pencahariannya bergantung pada sector agraria. Atas nama pembangunan atau pemulihan ekonomi lewat proyek strategis nasional, pemerintah melegalisasi perampasan lahan lewat proyek tersebut.

Karena itu sudah jamak ditemukan bahwa dalam satu PSN, contohnya KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) maka di sekitarnya pasti akan dibuat infrastruktur penunjang seperti bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, perkantoran, real estate, dst. Keseluruhan infrastruktur penunjang PSN tersebut telah memicu terjadinya konflik agraria di banyak tempat.

Food Estate: Lumbung Kesengsaraan

Food Estate (FE) merupakan salah satu PSN yang digagas pemerintahan Presiden Joko Widodo. Program ini masuk ke dalam Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Food Estate diklaim ditujukan untuk menjaga keberlangsungan ketahanan pangan nasional. Lebih dari 180 triliun rupiah APBN disalurkan untuk mempercepat FE di berbagai tempat. (KemenkoPerekonomian, 2020 dan 2021).

Tidak tanggung-tanggung, pemerintah secara ambisius menargetkan tanah seluas 3,99 juta hektar di 7 (tujuh) provinsi sebagai alokasi tanah untuk program FE.

Dalam proses pengadaan tanah untuk lokasi pengembangan lumbung pangan, dapat dibayangkan betapa tingginya letusan konflik agraria dan makin timpangnya penguasaan tanah akibat pelaksanaan FE. Apalagi mengeluarkan izin di atas tanah-tanah yang diklaim sebagai tanah negara atau tanah tak bertuan, padahal fakta di lapangan sudah menjadi tanah garapan, pemukiman, bahkan kampung dan desa definitif. Program ketahanan pangan ini masih menyandarkan produksi pangan dari hulu sampai hilir di pundak korporasi pangan besar. Bahkan beberapa korporasi swasta besar telah siap berinvestasi pada proyek Food Estate ini, seperti: PT. Indofood, PT. Calbe Wings, PT. Champ, PT. Semangat Tani Maju Bersama, PT. Agra Garlica, PT. Agri Indo Sejahtera dan PT. Karya Tani Semesta. (ditjenpkh.pertanian.go.id, 2020).

Bank Tanah: Kepentingan Publik Semu

Alih-alih mengawali tahun 2022 dengan mematuhi putusan MK secara tegas terkait perbaikan formal maupun substansi dari Omnibuslaw, Pemerintah justru mengkebut pembentukan Bank Tanah. Kendati belum terbentuk lembaganya, sejak disahkannya PP 64/2021 atau bahkan jauh sebelum itu, Kementerian ATR/BPN telah mempersiapkan aset Bank Tanah yang merupakan tanah telantar seluas 25 ribu hektar di 11 provinsi (ATR/BPN, 2021).

Selain itu Pemerintah telah memberi Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp 1 triliun rupiah dari rencana 2,5 triliun rupiah di PP 64/2021 dari rencana 5 trilliun rupiah dalam RPP Bank Tanah sebelumnya.

Kebijakan Bank Tanah yang akan masif merampas tanah rakyak atas dasar pembangunan untuk kepentingan umum menghidupkan domein verklaring yang tumbuh subur di masa kolonial. Sebagai lembaga yang dilahirkan melalui desakan pemodal, maka dapat dipastikan Bank Tanah yang menyediakan tanah dan kemudahan perizinan berusaha/persetujuan untuk membuka peluang investasi yang bersifat pro kapital. Dilengkapi dengan seperangkat hukum yang tidak berpihak pada petani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan, dan perempuan,
Bank Tanah jauh dari sekedar administrasi pertanahan, namun lebih cocok disebut sebagai lembaga penjamin, alokasi dan ketersediaan tanah bagi investasi.

Pasal 19 jo 40 PP 64/2021 jelas mengatur mengatur bahwa Bank Tanah wajib menjamin penyediaan tanah untuk mendukung peningkatan ekonomi dan investasi sekaligus memberi jaminan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah.

Dari seluruh analisa dan kondisi terkini kebijakan mengenai Bank Tanah, semakin jelas jika badan baru ini memang dibentuk untuk menjadi lembaga “business care”.

Bank Tanah sangat efektif melayani kepentingan usaha dan investor agar cepat mendapatkan tanah meskipun telah dikuasai oleh petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan. Maka perlu keseimbangan penyediaan tanah atas nama kepentingan umum untuk pembangunan nasional yang berfokus pada ekonomi dan investasi dan tujuan lainnya.

Perlu menjadi catatan, melalui Omnibuslaw terdapat perluasan kepentingan umum sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Semula terdapat 19 jenis kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum, diperluas menjadi 25 jenis kegiatan, yaitu sektor industri hulu dan hilir minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan pariwisata, kawasan industri, ketahanan pangan dan pengembangan teknologi.

Bersambung,-

--

--

Sekolah Mahasiswa Progresif

Kanal Edukasi, Propaganda dan Informasi Juang Sekolah Mahasiswa Progresif